Aku (poem)
"Aku" (meaning "Me") is a 1943 Indonesian-language poem by Chairil Anwar. It reflects his individualistic nature and vitality.
Poem
Kalau sampai waktuku |
If my time has come |
Release
Anwar first read "Aku" at the Jakarta Cultural Centre in July 1943.[1] It was then printed in Pemandangan under the title "Semangat" ("Spirit"); according to Indonesian literary documentarian HB Jassin, this was to avoid censorship and to better promote the nascent independence movement.[2] "Aku" has gone on to become Anwar's most celebrated poem.[3]
Indonesian writer Muhammad Balfas notes that one of Anwar's contemporaries, Bung Usman, wrote "Hendak Jadi Orang Besar???" ("So You Want to Be a Big Person???") in response to "Aku".[4] Balfas suggests that Usman was greatly irritated by the "vitality and new way of life" that Anwar showed in the poem.[4]
Teruntuk kamu, hidup dan matiku Aku tak tahu lagi harus dengan kata apa aku menuliskannya Atau dengan kalimat apa aku mengungkapkannya Karena untuk keberkian kalinya Kau buat aku kembali percaya akan kata cinta Dan benar, bahwa cinta masih berkuasa di atas segalanya Ketika hati yang mudah rapuh ini Diuji oleh duniawi, diuji oleh materi untuk kesekian kali Lagi, lagi, dan lagi Kutuliskan kenangan tentang Caraku menemukan dirimu Tentang apa yang membuatku mudah Berikan hatiku padamu Takkan habis sejuta lagu Untuk menceritakan cantikmu 'Kan teramat panjang puisi 'Tuk menyuratkan cinta ini Telah habis sudah cinta ini Tak lagi tersisa untuk dunia Karena telah kuhabiskan Sisa cintaku hanya untukmu Aku pernah berfikir tentang Hidupku tanpa ada dirimu Dapatkah lebih indah dari Yang kujalani sampai kini? Aku selalu bermimpi tentang Indah hari tua bersamamu Tetap cantik rambut panjangmu Meskipun nanti tak hitam lagi Bila habis sudah waktu ini Tak lagi berpijak pada dunia Telah aku habiskan Sisa hidupku hanya untukmu Dan telah habis sudah cinta ini Tak lagi tersisa untuk dunia Karena telah kuhabiskan Sisa cintaku hanya untukmu Untukmu hidup dan matiku Bila musim berganti Sampai waktu terhenti Walau dunia membenci 'Ku 'kan tetap di sini Bila habis sudah waktu ini (Bila musim berganti) Tak lagi berpijak pada dunia (Sampai waktu berhenti) Telah aku habiskan (Walau dunia membenci) Sisa hidupku hanya untukmu ('Ku 'kan tetap di sini) Telah habis sudah cinta ini (Bila musim berganti) Tak lagi tersisa untuk dunia (Sampai waktu terhenti) Karena telah kuhabiskan (Walau dunia membenci) Sisa cintaku hanya untukmu ('Ku 'kan tetap di sini) Karena telah kuhabiskan Sisa cintaku hanya untukmu
See also
References
- Footnotes
- Netti 2011, p. 37.
- Jassin 1978, p. 170.
- Djamin & LaJoubert 1972, p. 51.
- Balfas 1976, p. 73.
- Bibliography
- Balfas, Muhammad (1976). "Modern Indonesian Literature in Brief". In L. F., Brakel (ed.). Handbuch der Orientalistik [Handbook of Orientalistics]. 1. Leiden, Netherlands: E. J. Brill. ISBN 978-90-04-04331-2.CS1 maint: ref=harv (link)
- Budiman, Arief (2007). Chairil Anwar: Sebuah Pertemuan [Chairil Anwar: A Meeting] (in Indonesian). Tegal: Wacana Bangsa. ISBN 978-979-23-9918-9.CS1 maint: ref=harv (link)
- Djamin, Nasjah; LaJoubert, Monique (1972). "Les Derniers Moments de Chairil Anwar" [The Last Moments of Chairil Anwar]. Achipel (in French). 4 (4): 49–73. doi:10.3406/arch.1972.1012. Retrieved 30 September 2011.CS1 maint: ref=harv (link)
- Jassin, Hans Bague (1978). Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 [Chairil Anwar, Leader of the 45 Generation] (in Indonesian). Jakarta: Gunung Agung. OCLC 30051301.CS1 maint: ref=harv (link)
- Netti, A. G. Hadzarmawit (2011). Sajak-Sajak Chairil Anwar dalam Kontemplasi [Chairil Anwar's Poems in Contemplation] (in Indonesian). Surabaya: B You Publishing. ISBN 978-979-17911-4-4.CS1 maint: ref=harv (link)